Suatu
saat, adzan Maghrib tiba. Kami bersegera shalat di sebuah mesjid yang dikenal
dengan tempat mangkalnya aktivis Islam yang mempunyai kesungguhan dalam
beribadah. Di sana
tampak beberapa pemuda yang berpakaian “khas Islam” sedang menantikan waktu
shalat. Kemudian, adzan berkumandang dan qamat pun segera diperdengarkan
sesudah shalat sunat. Hal yang menarik adalah begitu sungguh-sungguhnya
keinginan imam muda untuk merapikan shaf. Tanda hitam di dahinya, bekas tanda
sujud, membuat kami segan. Namun, tatkala upaya merapikan shaf dikatakan dengan
kata-kata yang agak ketus tanpa senyuman, “Shaf, shaf, rapikan shafnya!”,
suasana shalat tiba-tiba menjadi tegang karena suara lantang dan keras itu.
Karuan saja, pada waktu shalat menjadi sulit khusyu, betapa pun bacan sang imam
begitu bagus karena terbayang teguran yang keras tadi.
Seusai
shalat, beberapa jemaah shalat tadi tidak kuasa menahan lisan untuk saling
bertukar ketegangan yang akhirnya disimpulkan, mereka enggan untuk shalat di
tempat itu lagi. Pada saat yang lain, sewaktu kami berjalan-jalan di Perth,
sebuah negara bagian di Australia, tibalah kami di sebuah taman. Sungguh
mengherankan, karena hampir setiap hari berjumpa dengan penduduk asli, mereka
tersenyum dengan sangat ramah dan menyapa “Good Morning!” atau sapa dengan
tradisinya. Yang semuanya itu dilakukan dengan wajah cerah dan kesopanan. Kami
berupaya menjawab sebisanya untuk menutupi kekagetan dan kekaguman. Ini negara
yang sering kita sebut negara kaum kafir.
Dua
keadaan ini disampaikan tidak untuk meremehkan siapapun tetapi untuk
mengevaluasi kita, ternyata luasnya ilmu, kekuatan ibadah, tingginya kedudukan,
tidak ada artinya jikalau kita kehilangan perilaku standar yang dicontohkan
Rasulullah SAW, sehingga mudah sekali merontokan kewibawaan dakwah itu sendiri.
Ada
beberapa hal yang dapat kita lakukan dengan berinteraksi dengan sesama ini,
bagaimana kalau kita menyebutnya dengan 5 (lima) S : Senyum, salam, sapa,
sopan, dan santun.
Kita
harus meneliti relung hati kita jikalau kita tersenyum dengan wajah jernih kita
rasanya ikut terimbas bahagia. Kata-kata yang disampaikan dengan senyuman yang
tulus, rasanya lebih enak didengar daripada dengan wajah bengis dan ketus.
Senyuman menambah manisnya wajah walaupun berkulit sangat gelap dan tua
keriput. Yang menjadi pertanyaan, apakah kita termasuk orang yang senang
tersenyum untuk orang lain? Mengapa kita berat untuk tersenyum, bahkan dengan
orang yang terdekat sekalipun. Padahal Rasulullah yang mulia tidaklah berjumpa
dengan orang lain kecuali dalam keadaan wajah yang jernih dan senyum yang
tulus. Mengapa kita begitu enggan tersenyum? Kepada orang tua, guru, dan
orang-orang yang berada di sekitar kita?
S yang
kedua adalah salam. Ketika orang mengucapkan salam kepada kita dengan
keikhlasan, rasanya suasana menjadi cair, tiba-tiba kita merasa bersaudara.
Kita dengan terburu-buru ingin menjawabnya, di situ ada nuansa tersendiri.
Pertanyaannya, mengapa kita begitu enggan untuk lebih dulu mengucapkan salam?
Padahal tidak ada resiko apapun. Kita tahu di zaman Rasulullah ada seorang
sahabat yang pergi ke pasar, khusus untuk menebarkan salam. Negara kita
mayoritas umat Islam, tetapi mengapa kita untuk mendahului mengucapkan salam
begitu enggan? Adakah yang salah dalam diri kita?
S
ketiga adalah sapa. Mari kita teliti diri kita kalau kita disapa dengan ramah
oleh orang lain rasanya suasana jadi akrab dan hangat. Tetapi kalau kita lihat
di mesjid, meski duduk seorang jamaah di sebelah kita, toh nyaris kita jarang
menyapanya, padahal sama-sama muslim, sama-sama shalat, satu shaf, bahkan
berdampingan. Mengapa kita enggan menyapa? Mengapa harus ketus dan keras?
Tidakkah kita bisa menyapa getaran kemuliaan yang hadir bersamaan dengan sapaan
kita?
S
keempat, sopan. Kita selalu terpana dengan orang yang sopan ketika duduk,
ketika lewat di depan orang tua. Kita pun menghormatinya. Pertanyaannya, apakah
kita termasuk orang yang sopan ketika duduk, berbicara, dan berinteraksi dengan
orang-orang yang lebih tua? Sering kita tidak mengukur tingkat kesopanan kita,
bahkan kita sering mengorbankannya hanya karena pegal kaki, dengan bersolonjor
misalnya. Lalu, kita relakan orang yang di depan kita teremehkan. Patut kiranya
kita bertanya pada diri kita, apakah kita orang yang memiliki etika kesopanan
atau tidak.
S
kelima, santun. Kita pun berdecak kagum melihat orang yang mendahulukan
kepentingan orang lain di angkutan umum, di jalanan, atau sedang dalam antrean,
demi kebaikan orang lain. Memang orang mengalah memberikan haknya untuk
kepentingan orang lain, untuk kebaikan. Ini adalah sebuah pesan tersendiri.
Pertanyaannya adalah, sampai sejauh mana kesantunan yang kita miliki? Sejauh
mana hak kita telah dinikmati oleh orang lain dan untuk itu kita turut
berbahagia? Sejauh mana kelapangdadaan diri kita, sifat pemaaf ataupun
kesungguhan kita untuk membalas kebaikan orang yang kurang baik?
Saudara-saudaraku,
Islam sudah banyak disampaikan oleh aneka teori dan dalil. Begitu agung dan
indah. Yang dibutuhkan sekarang adalah, mana pribadi-pribadi yang indah dan
agung itu? Yuk, kita jadikan diri kita sebagai bukti keindahan Islam, walau
secara sederhana. Amboi, alangkah indahnya wajah yang jernih, ceria, senyum
yang tulus dan ikhlas, membahagiakan siapapun. Betapa nyamannya suasana saat
salam hangat ditebar, saling mendo’akan, menyapa dengan ramah, lembut, dan
penuh perhatian. Alangkah agungnya pribadi kita, jika penampilan kita selalu
sopan dengan siapapun dan dalam kondisi bagaimana pun. Betapa nikmatnya
dipandang, jika pribadi kita santun, mau mendahulukan orang lain, rela mengalah
dan memberikan haknya, lapang dada,, pemaaf yang tulus, dan ingin membalas
keburukan dengan kebaikan serta kemuliaan.
Saudaraku,
Insya Allah. Andai diri kita sudah berjuang untuk berperilaku lima S ini,
semoga kita termasuk dalam golongan mujahidin dan mujahidah yang akan
mengobarkan kemuliaan Islam sebagaimana dicita-citakan Rasulullah SAW, Innama
buitsu liutammima makarimal akhlak, “Sesungguhnya aku diutus ke bumi ini untuk
menyempurnakan kemuliaan akhlak.
(Kiai Haji Abdullah Gymnastyar)
(Kiai Haji Abdullah Gymnastyar)
0 Responses to "5 S":
Posting Komentar