Penjelasan Ustadz Mudhoffar

Posted on Selasa, 22 Januari 2013 by Ikhsan Nugraha


Bismillah…
Ini saya copas dari seorang teman saya..
Alhamdulillah... Washsholatu wassalamu ’ala Rosulillah wa’ala alihi washohbihi ajma’in… Subhanallahi wabihamdih, ‘adada khalqihi, waridha nafsihi, wazinata ‘arshihi wamidada kalimatihi, ‘amma ba’du…

Sobat, saya mau berbagi sedikit ilmu yang saya dapat saat beberapa kali konsultasi dengan Ust Mudhafar di waktu dan tempat yang berbeza. Sebetulnya banyak tema, tapi ini dulu wae ya, alias bersambung (insya Allah). Langsung wae ya… enjoy it…



Shalat
Menepuk makmum jadi imam.
Ustadz, ketika kita masuk sebagai jama’ah gelombang kedua, ketika melihat ada makmum masbuk yang masih sedang menyempurnakan rakaatnya (kurang), dan saat dia masih berdiri biasanya kita menepuk pundaknya untuk menjadikannya imam. Apakah hal ini ada dasar yang syar’i?

“Sebelum membahas hal tersebut, kita musti terlebih dahulu memahami kaidah baku dalam shalat. Kita harus memahami hal – hal dasar, hal – hal prinsip yang disepakati oleh hampir semua Ulama’ berkaitan tentang teknis shalat. Di dalam shalat terdapat hal yang menjadi syarat, wajib, rukun, sunnah, dan mubah. Semua Ulama’ nyaris tidak ada perbedaan pendapat dalam syarat-wajib-rukun. Khilafiah terjadi pada setelahnya, yaitu sunnah dan mubah. Yang perlu kita perhatikan, selama kita pastikan pada syarat-wajib-rukun kita sudah sempurna, kita tidak perlu terlalu risau, insya Allah shalat kita sudah sah.

Ketika kita masuk masjid dan mendapati jama’ah telah selesai, dan saat itu jumlah kita ada 2 orang / lebih, yang afhdol adalah kita membentuk jama’ah baru. Dengan begitu tidak harus kita menjadikan makmum masbuk sebagai imam. Namun, seandainya terjadi yang antum tanyakan -makmum dijadikan imam- maka hukumnya mubah. Dalam hadits sohih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Jabir bin Abdullah, ia berkata ;

"Nabi shallallahu'alaihi wa sallam pernah berdiri shalat, kemudian aku datang, lalu aku berdiri disebelah kirinya, maka beliau memegang tanganku, lantas ia memutarkan aku sehingga ia menempatkan aku sebelah kanannya. Kemudian datang Jabbar bin Shakr yang langsung ia berdiri di sebelah kiri Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Lalu beliau memegang tangan kami dan beliau mendorong kami sehingga beliau mendirikan kami dibelakangnya". Untukmenepuk pundak, ada khilafiah, ada yang melarang dan ada yang membolehkan. Kalau menurut saya, itu diperbolehkan.

Yang perlu diperhatikan, hal mubah pun tetap ada acuannya. Kita menepuk pundak makmum tsb, adalah hanya untuk pemberitahuan bahwa kita hendak menjadikan dia sebagai imam. Dengan begitu, ketika sadar bahwa dia menjadi imam, ia akan mengeraskan bacaan yang jahriah. Lain halnya jika kita menganggap tepukan itu adalah salah satu gerakan ritual shalat, maka itu menjadi bid’ah.

Hal terpenting dari semua ini adalah kita harus memastikan yang kita lakukan telah aman pada tataran prinsip / hal yang disepakati. Selama itu terlaksana, tidak perlu kita terlu terpusingkan hal – hal yang tidak prinsip, yang berpotensi menimbulkan perdebatan panjang.”
Duduk tasyahud akhir makmum masbuk.
Ustadz, kan setiap makmum wajib mengikuti gerakan imam. Ketika kita masbuk, dan saat imam sudah sampai duduk tasyahud akhir, apakah kita ikut duduk berposisi tasayhud akhir atau tasyahud awal seperti yang sering saya lihat dan saya lakukan? Bukan kah mengikuti imam itu wajib.

“Batasan kewajiban makmum mengikuti gerakan imam adalah minimal pada hal – hal yang wajib. Sedangkan kita tahu dari kitab – kitab Fikih Shalat, bahwa duduk tawaruk saat tasyahd akhir maupun duduk iftirasy saat tasyahud awal itu adalah sunnah, bukan wajib. Itu kaidah bakunya. Menurut Syeikh Utsaimin, yang menjadi patokan ketika duduk tasyahud adalah hitungan tiap – tiap makmum. Jadi kita tetap duduk tasyahud awal. Sedangkan menurut Syeikh Abdul Muhsin Al Abbad, makmum harus berposisi seperti halnya imam, baik saat masbuk maupun tidak. Saya sendiri lebih cenderung memilih penuturan Syeikh Utsaimin, tetapi saya tidak melarang / menyalahkan bagi yang meniru Syeikh Al Abbad. Itu semua pilihan.

Jadi, ketika duduk tasyahud akhir, yang menjadi kewajiban untuk diikuti adalah duduknya, bukan posisi duduk. Jadi yang salah itu jika, saat imam duduk lalu kita malah rukuk atau sujud, saat imam berdiri kita duduk atau rukuk.Intinya kita boleh mengikuti imam berposisi tasyahud akhir, juga boleh posisi tasyahud awal. Yang penting saat imam duduk, tasyahud berapapun, kita ikut duduk. Alasan lain adalah karena kita tidak bisa menebak bagaimana posisi imam. Berhubung hukum posisi duduk (tawaruk/tasyahud) adalah sunnah, maka imam bisa duduk bagaimana saja, jika kita sedang di shaf 3 misal. Masak kita harus berdiri melihat bagaimana posisi imam, habis itu baru ditirukan. Insya Allah itu…”

Tasyabbuh (menyerupai)

Ustadz, kita dilarang tasyabuh (menyerupai) seseorang atau suatu golongan, terlebih yang kafir. Tetapi terkadang ada yang terlalu berlebihan menuduh seseorang telah tasyabuh. Misal saat kita membuat logo organisasi bentuknya segitiga, langsung di tuduh ini antek Zionis. Sebetulnya batasan meniru yang dianggap tasyabuh itu bagaimana ustadz?

“Dari Syeikh Utsaimin r.a, tasyabuh baru akan terjadi ketika yang kita tirukan adalah yang benar – benar menjadi ciri khas mereka, yang dipakai sebagai symbol dan keseharian mereka, serta tidak umum digunakan oleh kebanyakan orang yang bukan golongan tsb. Sehingga karena ketidak umuman tsb, ketika kita menggunakan ciri tersebut, secara otomatis, orang akan menganggap kita bagian dari golongan tersebut. Sedangkan peniruan yang berasal dari kafir, tetapi sudah banyak kaum muslim yag memakai terutama untuk kebutuhan, itu tidak termasuk tasyabuh insya Allah. Contohnya adalah penggunaan HP, laptop, mobil, dan produk lainnya.

Memang kita harus berhati – hati dalam memilih sesuatu, entah itu bentuk, warna, atau yang lain. Yang kita khawatirkan adalah jika kurang bijak dalam memilih bisa menghilangkan identitas Islamitu sendiri. Identitas Islam contohnya bulan sabit, bintang,Al Qur’an, tulisan Arab, warna hijau, putih, dan yang lain. Selain itu, pemilihan yang kurang tepat memang berakibat pada prasangka buruk orang lain. Bukan tanpa alasan, tuduhan itu tentunya karena pilihan kita yang terlalu mengindikasikan kearah ciri khas seseorang atau kelompok lain, terutama musuh islam. Sehingga kita perlu bijak di sini. Selama ada pilihan lain, kita harus memilih se-aman mungkin dan menghindarkan diri dari dzon negatif sesama muslim.”


PALESTINA

Ustadz, saya dapat cerita dari teman saya, tentang penuturan Ulama’ Arab Saudi (temen saya gak nyebut nama alias lupa) tentang Palestina. Beliau menuturkan bahwa beliau tidak perlu mengeluarkan fatwa jihad kepada muslim Saudi untuk pergi ke Palestina. Menurut pendapat beliau, bahwa konflik Palestina dengan Israel bukanlah konflik agama, tetapi konflik politik antara HAMAS dengan FATAH yang berebut kursi parlemen di negara tersebut. Juga tentang penuturan alm. Syeikh Nashirudin Al Albani r.a yang mewajibkan penduduk Palestina untuk Hijrah. Bagaimana menurut ustadz?

“Ulama’ adalah panutan kita sebagai warotsatul anbiya’ atau pewaris para Nabi. Kita telah mempelajari ilmu – ilmu mereka baik Ulama’ Salaf seperti Imam Syafi’I, Imam Hambali, Ibnu Jauzi hingga Ulama’ Kalaf seperti Syeikh bin Bazz, Syeik Utsaimin, Syeik Muqbil, dll. Telah kita baca kitab – kitab mereka dalam bidang Fiqh, Tafsir Qur’an, Hadits, Siroh, dan bidang lainya. Namun Ulama’ juga manusia biasa yang tidak ma’shum, mereka bukanlah segala – galanya. Dalam beberapa hal kita tidak menafikan adanya perbedaan bahkan perselisihan tentang hal – hal furuq. Terutama dalam hal Fatwa tentang Palestina, selama kita meyakini kebenaran informasi yang kita dapat kita tidak perlu menunggu Fatwa untuk berjihad.

Al Qur’an dan Sunnah adalah tuntunan pasti, tapi kondisi Palestina adalah fakta, kondisi real lapangan. Ada analogi begini. Misal Fulan penjual bakso, kebetulan pas lewat rumahnya Ulama’ A, dia dapati di depan rumah beliau ada dua pemuda yang bertengkar hingga adu pukul. Fulan melihat sendiri mana yang memukul duluan. Jadi dia tahu mana yang mendholimi dan mana yang membela diri.Melihat itu Fulan langsung berfatwa kepada mereka berdua bla bla bla… Trus mendengar keributan tsb, Ulama’ A keluar rumah dan langsung berfatwa bla bla bla.. Demi Allah, dalam kondisi ini fatwa Fulan adalah lebih sohih dari pada Ulama’ A yang ilmunya mungkin 1000 kali lipat dari Fulan yang cuma penjual bakso. Karena Fulan telah melihat secara langsung kedholiman yang dialami salah seorang diantaranya.

Terkait FATAH dan HAMAS, memang kita akui sampai sekarang pun masih belum sepenuhnya sejalan, terutama dalam perlawanan terhadap Israel. Tapi apakah kita harus membiarkan Palestina ditindas tiap hari oleh Israel dan antek-anteknya sembari mengatakan, ‘Hei HAMAS dan FATAH, saya tidak akan bantu kalian jika kalian tidak mau akur. Bersatulah dulu, baru saya mau bantu’. Ini kondisi real, tiap hari banyak anak – anak terancam yatim, istri menjadi janda, banyak orang tua kehilangan anak – anaknya karena telah syahid. Cukuplah masalah HAMAS dan FATAH menjadi pelajaran bagi kita, tetapi hal tersebut jangan mengurangi semangat kita untuk membantu saudara – saudara kita di sana.

Tentang Syeikh Al Albani rahimakumullah, sebesar apapun penolakan kita terhadap fatwa beliau, tidak boleh menjadikan kita tiba-tiba benci, anti pati, bahkan mengolok-olok beliau. Bagaimana pun beliau seperti halnya Ulama’ lain yang harus kita junjung tinggi. Terkait Fatwa beliau yang mewajibkan penduduk Palestina Hijrah, kita hrus membaca dengan detail dan rinci tentang fatwa tersebut. Jangan sampai kita termakan media yang membuat kita jauh dari Ulama’ karena itu strategi mereka (musuh Allah). Maksud beliau berfatwa seperti itu ada dua poin utama :
  1. Beliau tidak men-generalisiasi untuk semua penduduk Palestina. Fatwa hijrah hanya berlaku bagi yang benar – benar dalam kondisi wajib hijrah, terutama yang tinggal di daerah perbatasan. Seperti saat hijrah Sahabat Rasul pertama ke Habasyah.
  2. Hijrah tidak harus lintas Negara, bisa kota ke kota atau desa ke desa. Syeikh Al Bani tidak meminta mereka pergi dari Palestina. Jika di dalam negeri Palestina ada tempat yang aman untuk tinggal dan menjalankan kewajiban kepada Allah SWT, silahkan hijrah ke daerah tersebut.
Jika ada yang mengatakan bahwa mereka wajib keluar dan yang tidak keluar dihukumi kafir, maka itu bukan dari Syeikh Albani r.a. dan saya menolak gagasan tentang keluar Palestina tersebut. Ada dua pokok penting yang membuat saya tidak sependapat dengan gagasan itu :
  1. Kondisi Palestina saat ini sangat siap tempur, semangat mereka tak terbatas. Tarbiyah mereka sangat terjaga. Intinya, mereka siap perang dengan Israel laknatullah ‘alaihi kapanpun. Bahkan anak – anak pun kita sering liat mereka berbondong – bondong melempari tank – tank musuh dengan batu. Dengan kondisi ini, mutlak tidak ada alasan bagi mereka untuk meninggalkan tanah air mereka. Berbeda dengan kondisi para Sahabat Rasul yang ketika bertahan maka penindasan kafir Quraiys semakin menjadi-jadi. Ketika mau perang, belum mendapat izin dari Allah karena wahyu untuk perang baru ketika sampai Madinah. Perang melawan Israel sudah tidak perlu menunggu wahyu.
  2. Faktor penting pelaksanaan hijrah bukan sekedar kondisi tempat tinggal, tetapi hal yang sangat penting yang menjadi faktor keberhasilan hijrah adalah kondisi tempat tujuan. Ada jaminan – jaminan yang harus dipenuhi pada tempat tujuan, seperti jaminan keamanan, jaminan kebebasan beragama, jaminan keadilan dalam hukum, keleluasaan pekerjaan, dan jaminan – jaminan lain. Salah satu penguat keberangkatan hijrah Rasulullah SAW dan para sahabat adalah jaminan – jaminan tersebut ada pada Madinah Al Munawwarah. Sambutan yang diberikan sahabat Anshar kepada sahabat Muhajirin begitu menakjubkan seolah – olah mereka adalah saudara sendiri yang harus dilindungi dan dirawat. Kalaupun Palestina dalam kondisi lemah dan tidak sanggup berperang, sehingga muncul alasan bagi mereka untuk hijrah, negeri mana sekarang yang mampu memberikan jaminan – jaminan kepada penduduk Palestina, sekuat jaminan kaum Anshor kepada kaum Muhajirin.

Wallahua’lam bishowaf…

0 Responses to "Penjelasan Ustadz Mudhoffar":